Mustahiq Zakat menurut 4 madzhab

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar Belakang Masalah

Dalam zakat juga ditentukan delapan golongan penerima zakat yang disebut Mustahiq Zakat. Yaitu : Faqir, Miskin, Amil, Ghorim, Mu’alaf, Ibnu Sabil, Fisabilillah, memerdekakan budak. Pakar tafsir kenamaan Ibnu Katsir menegaskan bahwa para ulama’ berbeda pendapat mengenai delapan kelompok ini, apakah mereka harus mendapatkan bagian semua, ataukah boleh diberikan kepada sebagian di antara mereka ? Dalam hal ini, ada dua pendapat : 

 

Pendapat pertama, mengatakan bahwa zakat itu harus dibagikan kepada semua delapan kelompok itu. Ini  adalah pendapat Imam Syafi’I dan sejumlah ulama’ yang lain. 

 

Pendapat kedua, menyatakan bahwa tidak harus dibagikan kepada mereka semua, boleh saja, dibagikan pada satu kelompok saja diantara mereka, seluruh zakat diberikan kepada kelompok tersebut, walaupun ada kelompok-kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sejumlah ulama’ salaf dan khalaf, di antara mereka ialah Umar bin Khatab, Hudzifah Ibnul Yaman, Ibnu Abbas Abul’Aliyah, Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mahcar, Ibnu Jarir mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Oleh karena itu, penulis, (Abdul ‘Azhim bin Badawi) menyebutkan semua kelompok yang berhak menerima zakat di sini hanyalah untuk menjelaskan pengertian masing-masing kelompok, bukan karena keharusan memberikan zakat itu kepada semuanya.

 

  1. B.     Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian zakat?
  3. Siapa saja yang berhak menerima Zakat?


BAB II

PEMBAHASAN

  1. 1.      Pengertian Zakat

Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.[1]

Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh  mengungkapkan beberapa definisi zakat menurut para ulama mazhab :

  1. Menurut Malikiyah, zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang telah mencapai nishabnya untuk yang berhak menerimanya, jika milik sempurna dan mencapai haul  selain barang tambang, tanaman dan rikaz.
  2. Hanafiyah mendefinisikan zakat adalah kepemilikan bagian harta tertentu dari harta tertentu  untuk pihak tertentu yang telah di tentukan oleh syari’(Allah swt) untuk mengharapkan keridhaannya.
  3. Syafi’iyyah mendefinisikan zakat adalah nama bagi sesuatu yang di keluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.
  4. Hanafiah mendefinisikan zakat adalah hak yang wajib dalam harta terntentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.[2]
  1. 2.      Orang yang Berhak Menerina Zakat (Mustahiq Zakat)
    1. Dalil yang Menjelaskan Batasan-Batasan Mustahik

Seperti sudah kita ketahui, kalau soal zakat itu dalam Qur’an disebutkan secara ringkas, maka secara khusus pula Qur’an telah memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu harus diberikan. Tidak diperkenankan para penguasa membagikan zakat menurut kehendak mereka sendiri, karena dikuasai nafsu atau karena adanya fanatik buta.

Pada masa Rasulullah SAW, mereka yang serakah tak dapat menahan air liur melihat sedekah itu. Mereka mengharapkan mendapat percikan harta itu dari Rasulullah SAW, tetapi ternyata setelah mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah SAW, mulai mereka menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai Nabi.[3] Kemudian turun ayat Qur’an menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukkan kepalsuan mereka itu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi, dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran (masarif) zakat itu harus dikeluarkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah ayat : 60.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60)

Artinya : Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang pembagian sedekah-sedekah, jika mereka diberi sebagian dari padanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian dari padanya (maka) dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasulnya kepada mereka, dan berkata : “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan member kepada kami sebagian dari karunianya dan dengan demikian (pula) rasulnya, sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.

Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan mereka itupun menjadi buyar, sasaran zakat menjadi jelas dan masing-masing mengetahui haknya yakni bahwa yang berhak menerima zakat ialah delapan asnaf.

Diriwayatkan oleh al-jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi SAW pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman yang artinya:

“…jika mereka menuruti perintahnya untuk itu ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka.[4]

Dalil ini menunjukkan bahwa zakat diambil oleh imam dari orang-orang muslim yang kaya, kemudian dibagikan olehnya kepada orang-orang fakir.

  1. Kriteria Mustahik Zakat

Dari urutan penerima zakat yang disebutkan dalam ayat 60 at-Taubah, penerima zakat dilihat dari penyebabnya dan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu:

  1. Ketidak mampuan dan ketidak berdayaan

kelompok atau orang yang masuk dalam kategori ini dapat dibedakan pada dua hal, yaitu : pertama, ketidakmampuan di bidang ekonomi. ke dalam kelompok ini masuk fakir, miskin, gharim, dan ibn sabil. harta zakat diberikan kepada mereka selain riqab untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang menimpa mereka. kedua, ketidakberdayaan dalam wujud ketidakbebasan dan keterbelengguannya untuk mendapatkan hak asasi manusia, maka riqab diberikan untuk membeli kemerdekaannya. Ini berarti zakat diberikan untuk mengatasi ketidakbebasan dan keterbelengguan mendapatkan haknya sebagai manusia. karena dalam sejarahnya, budak diperlakukan tidak manusiawi, dapat digauli tanpa nikah dan dapat diperjualbelikan.

  1. Kemaslahatan Umum Umat Islam

Mustahik bagian kedua ini mendapatkan dana zakat bukan karena ketidakmampuan finansial, tapi karena jasa dan tujuannya untuk kepentingan umum umat Islam. Yang masuk dalam kelompok ini adalah amil, muallaf dan fi sabilillah. Amil mendapatkan pendanaan dari harta zakat karena telah melakukan fungsi dan tugasnya sebagai pengelola dana umat. Muallaf mendapatkan pendanaan zakat karena memberi dukungan kepada umat Islam dan mengantisipasi umat Islam dari tindakan anarkis kelompok yang tidak menyenangi Islam dan umatnya. Untuk fi sabilillah, dana zakat diperuntukkan untuk pelaksanaan semua kegiatan yang bermuara pada kemaslahatan Islam pada umumnya. Pada kelompok ke dua ini, alas an pemberian dana zakat tidak dilihat dari keadaan finansial perorangan, tetapi pada jasa atau kegiatannya. Artinya meskipun dilihat dari perorangan yang terlibat di dalamnya tergolong orang yang mampu atau berkecukupan, maka amil dan muallaf tersebut mendapatkan dana zakat sebagai kompensasi dari jasanya. Sedangkan untuk fi sabilillah, dana zakat dapat diberikan kepada kelompok, perorangan ataupun kegiatan-kegiatan untuk kemaslahatan umum umat manusia.[5]

  1. Sasaran Zakat Menurut Para Ulama

Seperti sudah disebutkan sasaran (masarif) zakat sudah ditentukan dalam surat at-Taubah (60), yaitu delapan golongan. Namun dalam pembagiannya, para ulama berbeda pendapat. Mazhab Syafi’i mengatakan “zakat wajib dikeluarkan kepada delapan kelompok manusia dengan alasan bahwa dalam Q.S. at-Taubah ayat 60

menisbatkan bahwa kepemilikan semua zakat oleh kelompok-kelompok itu dinyatakan dengan pemakaian huruf lam yang dipakai untuk menyatakan kepemilikan, kemudian masing-masing kelompok memiliki hak yang sama karena dihubungkan dengan huruf wawu (salah satu kata sandang yang berarti “dan”) yang menunjukkan kesamaan tindakan, oleh karena itu semua bentuk zakat adalah milik semua kelompok itu, dengan hak yang sama.[6]

Imam Nawawi telah berkata dalam al-Majmu’ : Imam Asy-Syafi’i dan ashabnya telah berpendapat, bahwa apabila yang membagikan zakat itu pemiliknya langsung atau wakilnya, maka hilanglah bagian untuk petugas, dan ia wajib membagikan zakat itu pada tujuh golongan yang lain, apabila semua ada, dan apabila tidak ada, maka wajib diberikan pada semua yang ada saja, tidak diperbolehkan membiarkan salah satu golongan yang ada, sehingga apabila ia melakukan, ia harus bertanggung jawab terhadap bagiannya itu.[7]

Adapun menurut jumhur (Hanafi, Maliki, dan Hambali) zakat boleh dibagikan hanya kepada suatu kelompok saja. Bahkan mazhab Hanafi dan Maliki memperbolehkan pembayaran zakat kepada satu orang saja diantara delapan kelompok yang ada. Dan menurut mazhab Maliki, memberikan zakat kepada orang yang sangat memerlukan dibandingkan engan kelompok yang lainnya merupakan sunat. Dalil mereka adalah bahwa sesungguhnya ayat tersebut menyatakan zakat tidak boleh dibagikan kepada selain 8 kelompok tersebut dan bila dibagikan kepada delapan kelompok yang ada untuk tindakan itu dianggap sangat baik.[8] Adapun dalil yang menjelaskan bahwa zakat boleh diberikan hanya kepada satu orang diantara delapan kelompok tersebut ialah bahwa kelompok – kelompok dalam ayat tersebut disebut dengan menggunakan huruf alif dan lam (lam al-ta’rif) misalnya al-fuqara.[9] Oleh karena itu, penyebutan dengan menggunakan lam al-ta’rif mengandung suatu kiasan (majaz), yang berarti jenis atau kelompok orang fakir, dan itu boleh terdiri atas satu orang saja sebab tidak mungkin zakat diberikan secara merata kepada semua orang fakir dan mencakup semua orang fakir.[10]

Sehingga Imam Malik, Abu Hanifah dan golongannya telah berbeda pendapat dengan imam asy-Syafi’i, mereka tidak diwajibkan pembagian zakat pada semua

sasaran, mereka berkata : Sesungguhnya lam (li) pada ayat itu bukan lam tamlik, akan tetapi lamul ajli (lam menunjukkan karena sesuatu) seperti ucapan : kelana ini untuk kuda dan pintu ini untuk rumah.[11] Mereka beralasan dengan firman Allah yang artinya : “Jika kamu menampakan sedekah (mu) maka itu adalah baik sekali dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.

Kemudian mengenai besarnya zakat yang diberikan kepada penerimanya, khususnya fakir miskin para fuqaha berselisih pendapat. Mazhab Syafi’i dan Hambali mengatakan, kita boleh memberikan zakat kepada masing-masing fakir dan miskin sebesar keperluan yang dapat memenuhi semua hajatnya, atau sekedar memberikan sesuatu yang membuatnya dapat bekerja jika mereka masih kuat atau memberi barangbarang yang dapat diperdagangkan oleh mereka.

Abu Hanifah sangat tidak menghendaki jika satu orang diberi zakat sampai sebesar satu nisab zakat, tetapi dia membolehkan untuk diberi berapa saja asal dibawah nisab, sedangkan Malik berpendapat bahwa boleh saja satu orang diberi bagian sebesar satu nisab, berdasarkan ijtihad, karena sesungguhnya maksud zakat ialah agar orang-orang yang fakir bisa menjadi kaya. Sehingga imam Malik berpendapat hendaknya pemberian kepada satu orang tidak melebihi biaya yang cukup dipakai untuk satu tahun.[12]

 

Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah hanya mereka yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yang artinya :

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs attaubah ayat 60)

  • Pendapat para Ulama’ Fiqih tentang Mustahiq Zakat
  1. 1.      Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali.[13]
    1. Imam Hanafi : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob, atau memiliki satu nishab atau lebih, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
    2. Imam Maliki : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta, sedangkanhartanya tidak mencukupi untuk keperluannya selama satu tahun.
    3. Imam Syafi’i : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
    4. Imam Hambali : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya.
    5. 2.      Orang Miskin yaitu orang yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat di pakai untuk memenuhi hidupnya.[14]
      1. Imam Hanafi : Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
      2. Imam Maliki : Orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.

(menurut keduanya orang miskin ialah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang faqir )[15]

  1. Imam Syafi’i : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
  2. Imam Hambali : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.

Terdapat persamaan dan perbedaan batasan tetang “Fakir dan Miskin”. Persamaan keduanya adalah orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Demikianlah menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah. Sedangkan perbedaannya : “Fakir” adalah orang yang tidak memliki sesuatu (harta) untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan tidak kuat berusaha (bekerja) untuk menutupi kebutuhan hidupnya tersebut.  Sedangkan “Miskin” adalah  orang yang lebih ringan kebutuhan hidupnya dibandingkan orang fakir. Renungkan firman Allah :

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya:(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara

mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah : 273)

 

  1. 3.      Adapun batasan ‘Amil  zakat terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab sebagai berikut :
    1. Imam Hanafi. ‘Amil adalah orang yang  diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
    2. Imam Malik. ‘Amil adalah orang yang menjadi pencatat, pembagi, penasehat dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat.
    3. Imam Hambali. ‘Amil  adalah pengurus zakat, dia diberi zakat sekedar  upah pekerjaannya. 
    4. Imam Syafi’i. ‘Amil  adalah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu .[16]

Rasulullah saw pernah mengangkat ‘Amil zakat seperti yang digambarkan dalam hadits berikut ini :

  حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ. (رواه البخاري )

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya, dari Abu Humaid As-Sa’adiy ra,  berkata : “Rasulullah saw  memperkerjakan seorang laki-laki untuk mengurus zakat Bani Sulaim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Lutbiyah. Ketika orang itu kembali, beliau memberinya (upah dari bagian zakat)”. (HR.Bukhari)

 

  1. 4.      Muallaf adalah orang yang baru masuk islam dan asih lemah imannya.
    1. Imam Hanafi : Mereka tidak diberi zakat lagi sejak zaman kholifah Abu Bakar As-Shiddiq.
    2. Imam Maliki : Madzhab ini mempunyai dua pendapat tentang muallaf, yaitu:

1)      Orang kafir yang ada harapan masuk islam.

2)      Orang yang baru memeluk islam.

  1. Imam Syafi’i : Mempunyai dua pengertian tentang muallaf,

1)      Orang yang baru masuk islam dan masih lemah imannya.

2)      Orang islam yang berpengaruh dalam kaumnya dan ada harapan kalau dia diberi zakat orang disekitarnya akan masuk islam.

3)      Orang Islam yang kuat imannya dan punya pengaruh terhadap orang kafir, dan kalau dia diberi zakat, maka kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada di bawah pengaruhnya.

4)      Orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.[17]

  1. Imam Hambali : Muallaf adalah orang islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang lain akan masuk islam karena pengaruhnya.

 

  1. 5.      Riqob adalah memerdekakan budak, mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
    1. Imam Hanafi : Riqob adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau dengan harta lainnya.
    2. Imam Maliki : Riqob adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan
    3. Imam Syafi’i : Riqob adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
    4. Imam Hambali : Riqob adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya.

Islam mengajarkan kebebasan dan kemerdekaan manusia, sehingga secara berangsur perbudakan dihapuskan, dan salah satunya melalui zakat. Sabda Nabi :

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ.(رواه النسائي)

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Sa’id Al Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,  beliau bersabda : “Tiga golongan yang semuanya merupakan hak atas Allah ‘azza wajalla untuk meolongnya,  yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak) yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya.” (HR.Nasai)

 

  1. 6.      Ghorimin adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Sabda Nabi :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ بُكَيْرٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ.(رواه مسلم)

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Bukair, dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah, dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata : “Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah saw terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak, maka Rasulullah saw,  bersabda : “Bersedekahlah kepadanya.” Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihutanginya: “Ambillah apa yang kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut.” (HR.Muslim)

  1.                                     a.      Imam Hanafi : Ghorimin adalah orang yang mempunyai hutang, sedangkan artanya diluar hutang tidak cukup satu nishob. Dan ia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
  2.                                     b.      Imam Maliki : Ghorimin adalah orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dan diberi zakat dengan syarat hutangnya bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
  3.                                     c.      Imam Syafi’i : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,[18]

1)      orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih.

2)      orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri.

3)      orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain.

  1.                                    d.      Imam Hambali : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,

1)      orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.

2)      orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram tetapi dia sudah bertaubat.

  1. 7.      Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.[19]
    1. Imam Hanafi : Fisabilillah adalah bala tentara yang berperang pada jalan Allah.
    2. Imam Maliki : Fisabilillah adalah bala tentara, mata-mata dan untukmembeli perlengkapan perang dijalan Allah.
    3. Imam Syafi’i : Fisabilillah adalah bala tentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri dan tidak mendapat gaji serta tidak mendapatkan harta yang disediakan untuk berperang.
    4. Imam Hambali : Fisabilillah adalah bala tentara yang tidak mendapat gajidari pemerintah.
    5. 8.      Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
      1. Imam Hanafi : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
      2. Imam Maliki : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang kenegerinya. Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat
      3. Imam Syafi’i : Ibnu Sabil adalah orang yang mengadakan perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
      4. Imam Hambali : Ibnu Sabil adalah orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 

Setelah mendengarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat yaitu ada delapan ashnaf (golongan) sebagaimana disebutkan diatas, yaitu:

  1. Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali.
  2. Miskin adalah orang yang mempunyai sedikit harta untuk dapat menutupi kebutuhannya, akan tetapi tidak mencukupi.
  3. Amil menurut kesepakatan semua Imam Madzhab, adalah orang yang bertugas mengurus dan membagikan zakat kepada yang berhak menerimanya. Dengan syarat: – mengerti tentang zakat & – dapat dipercaya.
  4. Muallaf adalah orang yang baru masuk islam dan masih lemah imannya.
  5. Riqob adalah memerdekakan budak, mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
  6. Ghorimin adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
  7. Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.
  8. Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Berdasarkan penjelasan imam Syafi’i dan jumhur ulama (Hanafi, Maliki dan Hambali), zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf, tapi jika pada saat pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashanaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada. Dan jika seluruh hasil pengumpulan zakat sudah dibagikan semua lalu muncul ashnaf lain yang belum menerimanya, maka mereka tidak berhak menuntut pembagian zakat.

DAFTAR PUSTAKA

 

Wikipwdia Bahasa Indonesia.

 al-Zuhaili,Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , Jilid III, Op cit

Bakar, Abu, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini, Kifaytul Akhyar

(Bina Iman, 9 H.)

Sulaiman, Rasjid H ,Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1998)

 Al-Jaziri, Abdurrahman  Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah,

 juz : 1,  Op cit

 Qordowi,yusuf, Hukum Zakat (semrang: IAIN Walisongo)

Jawad Mughniyah,Muhammad, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)


[1] Wikipwdia Bahasa Indonesia

[2] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , Jilid III, Op cit, 1788-1789.

 

[3] Yusuf Qordlowi, Fiqh Zakat, (Semerang: IAIN Walisongo)   507

[4]  Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , Jilid III,  Op cit,  277.

[5] Masdar F. Mas’udi, dkk, Menuju Efektifitas Pemanfaatan Zakat, Infaq Dan Sedekah, (Jakarta : Piramedia, 2004)  19-20.

[6] Ibid 278

[7] Ibid 279

[8] Yusuf Qardhawi,.fikih zakat, (Semarang: IAIN Walisongo)   664

[9] Ibid 280

[10] Ibid 280

[11] Ibid 665

[12] Wahbah al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, 292.

[13] Abu bakar, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar (Bina Iman, 9 H.) 441

[14] Yusuf Qordowi. Hukum Zakat (semrang: IAIN Walisongo) 513

[15] Ibid 513

[16]Sulaiman Rasjid H. Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1998) 210 – 213

[17] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, 502 – 505

 

[18] Abu bakar, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar. (Bina Iman, 9 H.)  446

[19] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab  (Jakarta: Lentera Basritama, 2000.) 193

Standar

Tinggalkan komentar